Benang Merah Semangat Juang Jenderal Soedirman dan Hizbul Wathan

Baca Juga

HARI ini, 103 tahun lalu, seorang tokoh penting bagi keberlangsungan bangsa ini lahir ke dunia. Dia adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang namanya tak saja dikenal sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, tapi juga perintis militer di republik ini. Soedirman lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, Jawa Tengah. Meski terlahir sebagai putra dari pasangan rakyat jelata, Karsid Kartawiraji dan Siyem, Soedirman dibesarkan oleh saudara ibunya bernama Tarsem. Suami Tarsem, Raden Cokrosunaryo, semasa hidupnya menjabat sebagai camat dan memiliki darah priyayi. Karena saking sayangnya kepada Soedirman, Cokrosunaryo pun memberi gelar raden kepada keponakannya itu. Soedirman dibesarkan oleh pamannya di Cilacap, Jawa Tengah. 

A Kresna Adi dalam buku Soedirman: Bapak Tentara Indonesia mengungkapkan, Soedirman dibesarkan dalam lingkungan budaya dan tata krama Jawa priyayi. Di samping itu, dia juga diajarkan tentang etos kerja dan kesederhanaan rakyat jelata. Sementara, AM Sardiman dalam buku Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman menyebutkan, Soedirman kecil adalah anak yang taat menjalankan perintah agama Islam. Dia juga selalu menunaikan salat wajib tepat waktu. Memasuki usia tujuh tahun, Soedirman memulai pendidikan dasarnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau Sekolah Pribumi Cilacap. Soedirman lalu melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah milik Taman Siswa, lembaga yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara. 

Namun, setelah setahun bersekolah di sana, Taman Siswa ditutup paksa pemerintah kolonial Hindia Belanda lantaran dianggap sebagai sekolah liar. Akhirnya, Soedirman memutuskan pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo Cilacap. Di sekolah barunya itu, Soedirman memperoleh pengalaman penting yang turut membentuk kepribadian dan wawasan kebangsaannya kelak. “Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut memengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda,” ungkap A Kresna Adi. Saat bersekolah di Wirotomo pula, Soedirman membantu mendirikan cabang Hizbul Wathan (HW), organisasi kepanduan putra milik Persyarikatan Muhammadiyah. 

Soedirman pun memegang tampuk pimpinan Hizbul Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari sekolah itu. Selain aktif di organisasi kepanduan HW, Soedirman muda juga menjadi guru di salah satu HIS milik Muhammadiyah di Cilacap. Ketua Umum Kwartir Pusat Hizbul Wathan, Muchdi Purwoprandjono menuturkan, semangat besar Soedirman dalam membina para kader Hizbul Wathan antara lain terlihat tatkala dia mengadakan pelatihan 77 tahun silam. Ketika itu, tepatnya pada 1941, Soedirman masih berumur 25 tahun. Dia bersama para pandu HW lainnya melaksanakan kegiatan pengaderan dengan berjalan kaki sejauh 150 km dari Cilacap sampai Batur, Banjarnegara. “Sesampainya di Batur, Soedirman dan rombongan berkemah dan menggelar latihan kepanduan,” ucap Muchdi. Pengalamannya sebagai pandu Hizbul Wathan akhirnya membuat Soedirman dipercaya untuk memimpin organisasi Kepanduan Karesidenan Banyumas sebagai menteri daerah (setara dengan ketua kwartir daerah). Selain itu, Soedirman juga dipercaya menjadi wakil ketua Pemuda Muhammadiyah Karesidenan Banyumas. 

Sebagai puncaknya, dia terpilih sebagai panglima besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 1945 di saat masih berpangkat kolonel. Akademikus asal Yogyakarta yang juga aktivis HW, Profesor Sarbiran menuturkan, Soedirman merupakan salah satu kader terbaik yang dimiliki Muhammadiyah. Dengan semangat jihad demi memperjuangan agama dan negaranya, sang jenderal rela melakukan perang gerilya keluar masuk hutan bersama rakyat Indonesia dalam kondisi serbaterbatas di pengujung 1948 hingga medio 1949. 

Pada masa itu, Soedirman yang tengah berusaha melawan penyakit TBC yang diidapnya, harus berjuang keras bersama para TKR untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari serangan musuh dalam peristiwa Agresi Militer Belanda II. Sekeluarnya dari hutan, Sudirman terus berusaha melawan penyakit TBC hingga akhirnya meninggal dunia di Magelang pada 29 Januari 1950. Sang jenderal besar wafat di usia yang masih sangat muda, yaitu 34 tahun. “Perjuangan di era Pak Dirman (Jenderal Soedirman) sudah barang tentu berbeda dengan era modern sekarang. Namun, nilai-nilai kepahlawanannya bagi kader Muhammadiyah dapat diartikan sebagai situasi yang semakin lebih baik, situasi yang membahagiakan, dan situasi yang lebih mendekatkan diri kepada Allah atau ketakwaan,” ucap Sarbiran. *** (Dirangkum dari berbagai sumber)


Previous
Next Post »